01 February 2006

Ayah "Menyusui", Cermin Kesetaraan Jender


Neni Utami Adiningsih

AH, boro-boro membantu mengganti popok, membuka mata saja enggak, begitu celoteh Bu Iis, tetangga saya, ketika kami beramai-ramai menjenguk Bu Dian yang baru melahirkan. "Kalaupun membuka mata, paling banter ia cuma nyolek dan bilang… ’Bu, bayinya nangis!’ Setelah itu, ya, tidur lagi," tambah Bu Iis untuk mempertegas ceritanya.

"Iya, betul itu. Saya dulu juga mengalaminya," timpal Bu Linda. "Rasanya jengkel sekali ya. Sudah puting ini sakit sekali karena lecet, payudara bengkak, mata mengantuk, badan pegal semua, eh lihat suami enak-enak saja tetap tidur. Jadi stres! Tapi saya enggak berani membangunkannya. Takut ia ngamuk," tuturnya lagi.

"Memang sih, si ayah enggak akan bisa ngasih minum (baca: menyusui), tetapi mbok ya nemenin bangun. Terus anaknya digendong sebentar. Kan si ibu jadinya senang, jadi tenang, enggak uring-uringan karena merasa disayang suami," celetuk Bu Dewi.

Deretan celoteh di atas bukan bagian dari dialog narasi sebuah sinetron. Itu adalah perbincangan yang sangat sering terlontar di kalangan ibu-ibu. Dan memang itulah kenyataannya. Hingga saat ini masih sangat sedikit keinginan suami untuk ikut berperan serta dalam perawatan anaknya, termasuk mendukung aktivitas menyusui.

Sungguhlah beruntung Mona Ratuliu, Unique Priscilla, Shahnaz Haque, Nia Paramita, juga Sofie karena suami mereka tidak sebagaimana yang dicelotehkan di atas. Suami mereka (berturut-turut) Indra, Bucek Depp, Gilang Ramadhan, Gusti Randa, juga Pongky sangat mendukung aktivitas menyusui. Itu sebabnya, Ikatan Dokter Anak Indonesia memberi mereka penghargaan saat perayaan Pekan ASI Sedunia lalu (Kompas, 3/8/2004).

Urusan ibu

Masih populer pendapat bahwa menyusui hanya urusan ibu. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ayah. Secara kasatmata memang ayah tidak bisa ikut-ikutan menyusui anaknya, tetapi sebenarnya ia mempunyai peran sangat besar dalam membantu keberhasilan istrinya dalam menyusui bayinya.

Menurut Dr Utami Roesli SpA, MBA, CIMI (Mengenal ASI Eksklusif, 2000) pada waktu bayi mulai mengisap payudara ibu, akan terjadi dua refleks yang akan menyebabkan ASI keluar, yaitu refleks produksi ASI/refleks prolaktin dan refleks pengaliran ASI (let down reflex)/refleks oksitosin). Pada refleks oksitosin inilah peran ayah sungguh besar. Mengapa demikian? Sebab refleks ini sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau perasaan ibu. Walaupun pengaruhnya berbeda kadarnya pada setiap ibu, pengaruh emosional bisa sampai 75 persen dalam menghambat keluarnya ASI.

Pikiran negatif seperti takut ASI tidak keluar, sedih, cemas, marah, kesal, kesakitan saat menyusui, malu menyusui, bisa membuat aliran ASI tidak lancar. Pikiran negatif ini kian diperburuk dengan masih merebaknya mitos bahwa menyusui akan membuat payudara menjadi tidak indah lagi serta akan membuat badan ibu menjadi gembrot.

Mitos di atas dalam budaya patriarki yang sangat kokoh sanggup membuat banyak ibu tidak mau/berhenti menyusui. Mereka takut ditinggalkan oleh suaminya sebagaimana hasil sebuah survei yang dilakukan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada tahun 1995 terhadap ibu-ibu se-Jabotabek. Kondisi seperti ini memberi andil pada sangat rendahnya persentase ibu yang berhasil memberi ASI eksklusif, hanya dua persen.

Kondisi kesetaraan

Mencermati paparan di atas, tampak jelas bahwa kelancaran menyusui memerlukan kondisi kesetaraan antara suami dan istri.

Kondisi kesetaraan akan membuat para ayah tidak merasa malu, tidak merasa canggung, apalagi merasa rendah apabila ia ikut "menyusui" bayinya dengan cara membantu merawat bayinya. Entah menggendong, menggantikan popok, memandikan, memijat, atau ikut menyendawakan bayi (setelah ia menyusu). Kondisi ini akan membuat ibu merasa bahwa perawatan anak adalah juga pekerjaan penting. Masih sangat banyak ibu yang berpendapat bahwa beraktivitas di kantorlah satu-satunya cara agar ia dianggap bekerja. Buktinya, sangat banyak ibu rumah tangga yang berkata, "Ah, saya di rumah saja. Saya tidak bekerja", ketika kepadanya dilontarkan pertanyaan, "Kerja di mana?"

Apresiasi suami terhadap aktivitas istri di rumah pada gilirannya akan menumbuhkan harga diri dan rasa percaya diri pada istri. Dalam proses menyusui, hal ini sangat penting. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa agar dapat menyusui dengan baik diperlukan adanya rasa percaya pada diri sendiri dan harga diri yang cukup besar dalam diri ibu. Hanya perempuan yang mempunyai citra diri positiflah yang mampu menyusui anaknya.

Suami juga sangat berperan dalam menciptakan suasana nyaman dan tenang yang membuat kondisi psikis istrinya dalam keadaan sehat. Kondisi seperti ini sangat dibutuhkan untuk memperlancar refleks oksitosin yang akan merangsang kontraksi otot di sekitar kelenjar susu yang merupakan pabrik susu sehingga melancarkan aliran ASI ke sinus laktiferus (terletak di bawah daerah kecoklatan di sekitar puting susu) yang merupakan tempat menampung ASI.

Bermanfaat

Keberhasilan ibu dalam memberikan ASI eksklusif ini akan bermanfaat bagi keluarga. Dari sisi ekonomis, tindakan itu akan mengurangi pengeluaran, tidak saja pengeluaran untuk membeli susu formula serta perlengkapannya, tetapi juga biaya kesehatan untuk bayi. Karena dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula, bayi dengan ASI eksklusif telah dibuktikan hampir tidak pernah sakit.

Pengeluaran akan semakin membengkak jika juga memerhatikan risiko potensi anak mengalami kesulitan belajar di samping kendala dalam perkembangan fisik dan mentalnya.

Dari sisi ibu, menyusui akan menyehatkan reproduksinya, membuat payudara dan ovariumnya lebih terhindar dari kanker, perdarahan setelah melahirkan juga lebih cepat berhenti, rahimnya segera pulih, dan ia juga cepat langsing.

Dengan begitu banyak manfaat ASI eksklusif, masihkah para suami enggan membantu istrinya untuk ikut "menyusui" bayinya? Mestinya tidak. Dan hanya suami yang "jantan" dan gentle saja yang berani melakukannya. Andakah itu?

Neni Utami Adiningsih, Ir, MT Ibu Rumah Tangga yang Sangat Berminat pada Masalah Anak, Perempuan, dan Keluarga; Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga

No comments: